Hubungan
seksual antara pasangan suami istri bukanlah hal yang terlarang untuk
dibicarakan didalam Islam. Namun, bukan pula hal yang dibebaskan sedemikian
rupa bak layaknya seekor hewan yang berhubungan dengan sesamanya.
Hubungan
seks yang baik dan benar, yang tidak melanggar syariat selain merupakan puncak
keharmonisan suami istri serta penguat perasaan cinta dan kasih sayang diantara
mereka berdua maka ia juga termasuk suatu ibadah disisi Allah swt, sebagaimana
sabda Rasulullah saw,
”..dan
bersetubuh dengan istri juga sedekah. Mereka bertanya,’Wahai Rasulullah, apakah
jika diantara kami menyalurkan hasrat biologisnya (bersetubuh) juga mendapat
pahala?’ Beliau menjawab,’Bukankah jika ia menyalurkan pada yang haram itu berdosa?,
maka demikian pula apabila ia menyalurkan pada yang halal, maka ia juga akan
mendapatkan pahala.” (HR.
Muslim)
Islam
memandang seks sebagai sesuatu yang moderat sebagaimana karakteristik dari
islam itu sendiri. Ia tidaklah dilepas begitu saja sehingga manusia bisa
berbuat sebebas-bebasnya dan juga tidak diperketat sedemikian rupa sehingga
menjadi suatu pekerjaan yang membosankan.
Pertanyaan
tentang Jima’ dengan cara oral seks selalu
menjadi primadona selama ini. Apakah tabu atau tidak. Tahukah Anda bahwa dalam
Islam sebelum melakukan hubungan seks, kita dianjurkan untuk
melakukan foreplay (mula’abah) atau permainan pendahuluan?
Ini dianjurkan agar hubungan seksual yang
dilakukan tidak menyerupai hubungan seksual yang dilakukan oleh
binatang. Tanpa pemanasan. Sehingga diharapkan tidak ada pihak yang tersakiti.
Dan sangat diharapkan kedua belah pihak untuk bisa menikmatinya. Salah satu
bentuk foreplay dalam pengetahuan seksualitas modern yaitu tadi oral seks, atau mencium farj(kemaluan)
pasangan baik istri kepada suaminya ataupun sebaliknya. Dan lebih ‘ekstrim’
lagi yaitu dengan oral seks dengan posisi 69.
Lalu bagaimana kita menyikapi hal
tersebut?
Para
ulama berbeda pendapat dalam menyikapi masalah tersebut (oral seks). Ada
yang membolehkan, namun ada yang memakruhkan dan condong untuk melarangnya.
1.
Dibolehkan dengan syarat
Dibolehkan
karena pada dasarnya segala sesuatu itu boleh (mubah) kecuali ada dalil yang
melarangnya. Dan memang hal ini tidak bisa dihukumi sebagai perbuatan yang
haram, karena tidak adanya dalil yang eksplisit yang mengharamkannya.
Seperti
halnya jimak (bersetubuh) hingga orgasme dibolehkan karena itu adalah puncak
kenikmatan, maka dibolehkan pula kenikmatan-kenikmatan yang didapat (meski
tidak mencapai orgasme) yaitu cumbu rayu, berpelukan, mencium hingga oral yang
membuat suami-istri saling menikmati.
Allah
Berfirman dalam Al Quran:
”Isteri-isterimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang
baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu
kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (QS. Al Baqoroh : 223)
Namun
apabila oral seks ternyata telah terbukti membawa dampak bahaya bagi pasangan,
seperti contoh oral seks yang mengakibatkan pasangan sakit atau tertimpa bahaya
(mungkin karena kotor karena adanya najis atau adanya cairan yang berbau keluar
dari farj) maka hal tersebut masuk pada kategori larangan dan
tidak boleh dilakukan.
2. Makruh
dan condong pada larangan.
Yang
berpendapat tentang larangan oral seks dan termasuk didalam kategori tersebut
adalah posisi 69 (maaf, posisi dimana pasangan saling berhadapan namun
berlawanan arah kepala) karena hal tersebut menyalahi kodrat dan fitrah manusia
sebagai hamba yang diberi akal fikiran yang lebih tinggi derajatnya dari
binatang. Sebab manusia diberi lisan untuk membaca al Quran dan bertutur kata
yang baik, maka tidak tepat jika digunakan untuk mencium ‘sesuatu’ yang bisa
mengeluarkan najis (kencing, haid, madzi dst)
Tentu
kita tidak akan pernah menemukan sepasang hewan yang melakukan hal tersebut,
namun ternyata manusia banyak yang melakukan bahkan gemar dan menjadi cara yang
populer dikalangan masyarakat saat ini.
Hal
tersebut bisa terjadi karena pengaruh kehidupan masyarakat barat. Masyarakat
Barat adalah masyarakat liberal (serba bebas) termasuk dalam urusan seksual.
Tujuan akhir yang mereka cari hanyalah kepuasan, dalam hal ini orgasme. Jika
pemanasan dalam Islam adalah agar farj istri siap dimasuki farj suami,
maka Barat tidak mengharuskan jalan ini. Jika dengan dimasukkan dubur wanita/
pria atau mulut wanita/ pria bisa tercapai kepuasan, maka hal itu akan
dilakukan. Itulah sebabnya kenapa posisi 69 menjadi pilihan
masyarakat barat,
khususnya kaum gay dan lesbian.
Jika
dalam kehidupan sehari-hari saja kita dilarang untuk bersikap tasyabuh (ikut-ikutan),
maka apalagi dalam masalah jimak yang mana didalamnya islam menjunjung tinggi
fitrah manusia yang diberi akal fikiran, tentu dilarang pula untuk bertasyabuh
dengan mereka.Wallahua’lam
Kesimpulan:
Cara seks
dengan oral dan juga termasuk didalamnya posisi 69 pada hakikatnya adalah
boleh. Namun meskipun hal itu mubah, tetapi lebih afdhol dan lebih baiknya
ditinggalkan.
Pada
dasarnya sepasang suami-istri boleh bersenang-senang dengan saling menikmati
seluruh badan antara satu sama lainnya kecuali jika ada dalil yang melarangnya.
Akan tetapi perbuatan tersebut tidak disukai (makruh) karena masih ada cara
lain yang lebih baik dan menyenangkan.
Di lain
sisi jika seks oral membawa dampak bahaya bagi pasangan, maka sudah seharusnya
dijauhi karena mengingat Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ
"Tidak
boleh memulai memberi dampak buruk (mudhorot) pada orang lain, begitu pula
membalasnya." (HR. Ibnu Majah no. 2340, Ad Daruquthni 3: 77, Al
Baihaqi 6: 69, Al Hakim 2: 66. Kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih).
(Sumber: solusiislam.com)
0 Response to "Hukum Menghisap Kemaluan Suami dan Posisi 69 Dalam Pandangan Agama Islam, Bolehkah?"
Post a Comment